Wednesday, July 11, 2007

Susu Mahal, Kembali ke ASI

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Parenting & Families
Author:Ali Khomsan
Susu Mahal, Kembali ke ASI

Naiknya harga susu membuat para ibu yang memiliki anak balita menjadi
pusing dan putus asa.

Untuk mengatasinya, sebagian ibu memberi tajin (air beras) agar
anaknya kenyang. Seusai minum tajin mungkin terasa kenyang, tetapi
anak-anak dalam usia ini sejatinya masih lapar gizi.

Masalah ini perlu diwaspadai karena masalah gizi buruk bisa merebak
lagi. Kurangnya asupan gizi membuat berat badan anak kurang dari
standar, daya tahan tubuh menurun, dan anak-anak mudah terserang
infeksi (diare dan ISPA). Kurang gizi dan infeksi bersifat sinergistis
dapat mengancam nyawa anak-anak.

Maka, pemerintah harus segera bertindak agar kenaikan harga susu bisa
dikendalikan sehingga tidak membebani perekonomian keluarga miskin.
Kecuali jika pemerintah akan kembali meluncurkan program bantuan
langsung tunai (BLT) khusus untuk susu. Kenaikan harga susu di satu
sisi menguntungkan peternak sapi perah, tetapi di sisi lain
menimbulkan masalah serius karena mengancam gizi anak-anak.

Kembali ke ASI

Bagi anak usia di bawah satu tahun, susu masih merupakan makanan
utama. Oleh karena itu, kontribusi susu terhadap asupan energi maupun
protein masih cukup signifikan. Apalagi bagi anak-anak di bawah usia
enam bulan, susu menjadi 90 persen-100 persen asupan gizi.

Kecenderungan ibu-ibu untuk tidak meneteki bayinya dengan ASI harus
diantisipasi. Gerakan kembali ke ASI harus dicanangkan agar kualitas
SDM bangsa bisa ditingkatkan. Pakar gizi dan kesehatan sepakat, selama
4-6 bulan kehidupan awal bayi harus diberi ASI eksklusif guna menjamin
asupan nutrisi berkualitas dalam periode amat penting ini.

Kebijakan cuti tiga bulan bagi ibu yang melahirkan sebenarnya tak
mendukung upaya perbaikan kualitas hidup bangsa. Cuti tiga bulan
pascamelahirkan akan menyulitkan penerapan ASI eksklusif sehingga bayi
tidak mendapatkan haknya, yakni mendapat makanan alami yang melekat
pada tubuh ibunya.

Di Finlandia konon ibu yang mau menyusui bayinya mendapat reward dari
pemerintah. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara terhadap tumbuh
kembang seorang anak. Cara di Finlandia tersebut mungkin belum bisa
diterapkan di Indonesia. Namun, paling tidak kaum perempuan diberi
kesempatan untuk bisa secara leluasa memberi ASI bagi anaknya. Oleh
karena itu, harus ada komitmen dari pemerintah untuk memberi cuti
melahirkan sesuai dengan kaidah ASI eksklusif, yaitu empat bulan
pascamelahirkan. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Departemen Kesehatan adalah dua institusi negara yang seharusnya
paling risau dengan kenyataan rendahnya pemberian ASI eksklusif dan
kecenderungan pemberian susu formula untuk mengganti ASI.

Dari segi ekonomi, menyusui dengan ASI adalah paling ekonomis karena
tidak usah beli. Selain itu, suhu ASI selalu sesuai dengan suhu tubuh.
Penyiapan ASI tidak serumit penyiapan susu formula. Aspek higienitas
ASI juga lebih terjamin daripada susu botol. Di negara-negara
berkembang masalah sanitasi merupakan problem serius sehingga infeksi
bisa amat mengancam bayi dan anak-anak kecil.

Secara psikologis produksi ASI dipengaruhi unsur kejiwaan. Karena itu,
ibu menyusui perlu ketenangan jiwa dan dorongan orang-orang terdekat.
Kaum ayah dituntut selalu meyakinkan bahwa istrinya mampu menyusui.

Peran ayah untuk mendukung istri agar menyusui inilah yang kini sering
disebut breastfeeding father. Pada dasarnya dari 1.000 ibu menyusui
mungkin tak lebih dari 10 orang yang tak dapat menyusui bayinya karena
alasan fisiologis. Jadi sebagian besar ibu dapat menyusui dengan baik.
Hanya saja, ketaatan untuk menyusui eksklusif 4-6 bulan, dilanjutkan
hingga dua tahun, mungkin tak dapat dipenuhi menyeluruh.

Gizi buruk

Naiknya harga susu dan kemungkinan munculnya kasus baru gizi buruk
perlu dicermati. Prevalensi gizi kurang dan buruk memang menurun 10
persen selama 1989-2003. Data 2006 menunjukkan, jumlah balita
penderita gizi buruk mencapai 2,1 juta anak. Setiap tahun pemerintah
hanya bisa menekan angka gizi kurang dan buruk rata-rata kurang dari 1
persen. Jika sasaran yang ingin dicapai adalah menurunnya prevalensi
gizi kurang dan buruk pada balita menjadi 20 persen, keadaan 2003
dengan prevalensi gizi kurang dan buruk 27,5 persen mengindikasikan
tugas pemerintah untuk mencapai sasaran itu masih berat.

Tanpa kenaikan harga pun pemerintah kesulitan menekan masalah gizi,
apalagi dengan harga susu yang melambung. Masalah gizi terkait
kemiskinan. Ketidakmampuan mengakses pangan (susu) akan berdampak
munculnya masalah gizi di masyarakat. Korban paling menderita adalah
anak-anak yang masih harus mengonsumsi susu.

Untuk menjaga anak-anak miskin dari ancaman gizi buruk akibat harga
susu naik, pemerintah perlu segera merumuskan bantuan makanan tambahan
(susu). Sasarannya, lebih dari lima juta balita penderita gizi buruk
dan kurang. Anggaran pembangunan kesehatan akan tersedot ke sini dan
akan mengganggu layanan kesehatan lainnya.

Bangsa kita adalah bangsa yang cepat lupa. Masalah busung lapar yang
serius pun cepat hilang. Namun, bangsa yang cepat lupa adalah bangsa
yang pikun. Kepikunan ini menunjukkan bangsa yang kurang cerdas akibat
gizi kurang di masa balita.

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB
Artikel taken from Koran Kompas

2 comments: