Tuesday, March 4, 2008

harian kompas "Heboh Susu Formula dan Buku Menkes"

Rating:★★★★
Category:Other
Heboh Susu Formula dan Buku Menkes
Rabu, 5 Maret 2008 | 01:38 WIB
oleh : *IRWAN JULIANTO*

Dua pekan terakhir media dan masyarakat dihebohkan oleh berita temuan para
peneliti Institut Pertanian Bogor bahwa susu formula yang beredar di pasaran
tidak steril karena mengandung bakteri Enterobacter sakazakii yang dapat
menyebabkan infeksi meningitis pada bayi. Sayangnya, pejabat Departemen
Kesehatan justru menuding penelitian itu tidak sahih dan mungkin disponsori
pihak luar.

Padahal, susu formula (untuk bayi lahir normal), menurut Badan Kesehatan
Dunia (WHO), memang tak perlu sama sekali steril karena biaya produksinya
bakal amat mahal dan vitamin yang difortifikasi akan rusak. Bakteri seperti
E sakazakii dalam susu formula—kalau toh ada—tak perlu kelewat dikhawatirkan
karena dapat dijinakkan dengan cara penyiapan dan pemberian susu formula
yang higienis.

Yang perlu diprihatinkan oleh Depkes dan konsumen seyogianya adalah terlalu
besarnya ketergantungan masyarakat pada susu formula. Pada saat perekonomian masyarakat menengah bawah sulit seperti saat ini, seharusnya Depkes lebih gencar mempromosikan air susu ibu (ASI) eksklusif.

Sejarah pernah mencatat betapa produsen susu formula multinasional pernah
begitu dominan dan memasarkan produk mereka secara tak etis ke negara-negara dunia ketiga hingga jutaan bayi mengalami diare, dehidrasi, dan kehilangan nyawa. Kelompok konsumen War on Want dari Inggris menemukan praktik penyuapan produsen susu formula kepada para bidan dan dokter anak agar ibu-ibu yang baru melahirkan didorong untuk tak menyusui anak mereka
sehingga konsumsi susu formula dapat digenjot. Puncaknya, berkat lobi dan
tekanan organisasi/aktivis konsumen internasional awal tahun 1980-an, WHO
dan Unicef mengeluarkan Kode Pemasaran Internasional Pengganti ASI, yang
antara lain melarang pemasangan gambar bayi di kaleng susu formula.

Ulah WHO dan Unicef ini tentu tak menggembirakan negara-negara industri. Tak
heran ketika WHO atas desakan organisasi konsumen dunia tahun 1984-1986
mencoba untuk membuat Kode Pemasaran Obat guna menekan praktik
industrio-medical complex (kontrak-mengontrak dokter oleh industri farmasi),
upaya itu kandas. Amerika Serikat mengancam akan cabut dari WHO. Dirjen WHO Halfdan Mahler, yang asal negeri Skandinavia, kemudian digantikan oleh
Hiroshi Nakajima asal Jepang, yang tentu lebih pro-AS.

*Skandal pencurian virus*

Dalam perjalanannya, WHO sebagai organisasi kesehatan di bawah PBB memang sarat dengan tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi negara-negara angggotanya. Contoh paling mutakhir adalah sikap mbalelo Indonesia yang tak mau mengirim sampel virus flu burung kepada WHO. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari khawatir virus H5N1 itu akan dijadikan bahan pembuatan vaksin oleh industri negara-negara maju yang kemudian harus dibayar mahal oleh rakyat negara-negara yang terjangkit flu burung, termasuk Indonesia yang mengirimkan sampel virus tadi.

Drama diplomasi dan perdebatan masalah inilah yang dituangkan oleh Menkes RI
dalam bukunya, Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu
Burung, yang diluncurkan di Jakarta tanggal 6 Februari lalu. Baru genap dua
pekan beredar, edisi bahasa Inggris buku itu, It's Time for the World to
Change-in the Spirit of Dignity, Equity, and Transparency. Divine Hand
Behind Avian Influenza, sudah menghebohkan dunia internasional. Jubir Deplu
AS Susan Stahl, seperti dikutip harian Australia, The Age (21/2), membantah
bahwa sampel virus flu burung Indonesia telah dikirim ke laboratorium
senjata biologi Pemerintah AS di Los Alamos, New Mexico.

Petinggi WHO untuk keamanan kesehatan, David Heymann, menyatakan bahwa
Menkes Fadilah Supari memperoleh instruksi dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk menarik dari pasar. Menkes menyatakan, ia atas inisiatif
sendiri menarik buku edisi bahasa Inggrisnya untuk diedit ulang karena ada
kesalahan penerjemahan. Walaupun dikatakan telah ditarik, hingga hari Minggu
(2/3) toko buku QB di Kemang masih men-display belasan buku itu.

Coba kita simak isi buku edisi bahasa Indonesia halaman 17: "Data sequencing
DNA diberlakukan sebagai dari mereka yang berada di Los Alamos. Kapan akan
dibuat vaksin dan kapan akan dibuat senjata kimia, barangkali tergantung
dari keperluan dan kepentingan mereka saja." Diterjemahkan menjadi: "The DNA
sequence data of H5N1 virus had been the privilege for the scientists in Los
Alamos. Whether they used it to make vaccine or develop chemical weapon,
would depend on the need and the interest of the US government."

Memang dalam edisi bahasa Indonesia tidak disebutkan secara eksplisit kata
"Pemerintah AS". Namun, di halaman 19 lagi-lagi tersurat dan tersirat
kekhawatiran Menkes bahwa virus flu burung Indonesia dapat dijadikan senjata
biologi.

Lepas dari spekulasi soal senjata biologi ini, gugatan Menkes RI terhadap
nasib sampel virus flu burung Indonesia jika dibuat vaksin tanpa melibatkan
Indonesia adalah sah adanya.

Ini mengingatkan kita akan sengketa Pemerintah Perancis (masa Presiden
Mitterand) dengan Pemerintah AS (masa Reagan) soal pembagian royalti paten
tes antibodi untuk HIV/ AIDS. Tahun 1983 ilmuwan Institut Pasteur yang
dipimpin Luc Montagnier mengklaim menemukan virus penyebab AIDS dari darah
seorang pramugara gay. Sampel virus itu kemudian dikirim ke laboratorium
Robert Gallo di Bethesda, Amerika Serikat. Tahun 1984, Gallo mengklaim bahwa
ia dan timnya berhasil mengisolasi virus penyebab AIDS, bahkan ia kemudian
menemukan cara mengetes antibodi orang yang terinfeksi virus itu yang
kemudian dikenal sebagai tes ELISA.

Sejarah menunjukkan, Gallo telah "memakai" sampel virus tim Montagnier.
Gallo pun menjalani persidangan integritas dan etika keilmuwanannya. Dengan
terpaksa Reagan memberi konsesi bagi hasil tes antibodi HIV kepada
Pemerintah Perancis dan tim Montagnier. Hal ini terungkap dalam buku And the
Band Played On-Politics, People, and the AIDS Epidemic karya wartawan Randy
Shilts.

Mudah-mudahan sampel virus H5N1 asal Indonesia yang jauh lebih ganas
dibandingkan dengan virus flu burung Vietnam tidak mengalami nasib serupa
HIV temuan Montagnier.

--
Taken From :
Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI)
www.aimi-asi.org
Menyusui: Anak Sehat, Keluarga Bahagia
AIMI adalah organisasi nirlaba yang berbasis kelompok sesama ibu menyusui
dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, informasi tentang ASI &
prosentase ibu menyusui di Indonesia.

No comments:

Post a Comment